Pesantren, Jihad, Teror
Ketika disebutkan kata Jihad, yang terbayang adalah gambaran kaum muslimin yang memegang pedang, samurai, senapan, bahkan bom.
Pemberitaan media yang salah dan pengertian Jihad yang keliru adalah salah satu penyebabnya.
Jihad selalu diambil sebagai kata utuh, dianggap sebagai ajaran Islam, yang pada akhirnya dapat merusak citra Islam itu sendiri.
Padahal seharusnya, Jihad adalah di jalan Allah (fi sabilillah), dengan ketentuan yang mendatangkan rahmat, bukan kehancuran.
Berikut ini adalah artikel dari milis fismaba2004 (milis para alumni pesantrenku):
Senin, 21 Nov 2005,
Pesantren, Jihad, Teror
Oleh: A. Mustofa Bisri
SEBAGAI orang yang dibesarkan di pesantren, sama sekali
saya tidak kaget mendengar pesantren dikait-kaitkan oleh
pejabat tinggi negeri ini dengan teroris. Kita maklum
belaka atas kebiasaan berpikir lugu kebanyakan petinggi
kita yang gampang mengait-ngaitkan masalah dan suka dengan
spontan menunjuk-nunjuk pihak lain. Inilah cara yang
paling sederhana untuk menghindar dari dan sekaligus
menunjukkan tanggung jawab. Bahkan, saya tidak kaget kalau
spontanitas sederhana pejabat tinggi itu kemudian menjadi
semacam kebijaksanaan yang diikuti membabi-buta oleh
bawahan-bawahannya. Saya juga tidak kaget kalau pada
gilirannya pers meramai-kembangkan hal itu.
Boleh jadi petinggi yang bersangkutan memang mendengar
pengakuan salah satu atau beberapa pelaku teror yang
tertangkap, atau melihat dokumen yang ditemukan yang
menunjukkan bahwa ada tersangka teroris yang mengaku
jebolan pesantren. Apalagi, bila pejabat tinggi itu
termasuk yang termakan opini bahwa sumber teror adalah
dari pemahaman ajaran Islam. Maka, pesantren yang
diketahui merupakan tempat pendidikan agama Islam akan
tampak logis dijadikan kambing hitam.
Saya yakin semua orang tahu bahwa saat ini jenis pesantren
banyak sekali. Bahkan, -seiring banyaknya kiai tiban (kiai
instan, Red)- banyak pula pesantren tiban. Dan, pesantren
yang disebut salaf -katakanlah pesantren yang ’asli’- baik
yang kemudian menamakan diri sebagai pesantren modern atau
yang disebut orang tradisional, sudah memiliki jati diri
sendiri yang tidak mudah dikagetkan oleh kepanikan orang
-termasuk pejabat yang panikan.
Sejak mula pesantren ’salaf’ meyakini suatu akidah
pemikiran ahlussunnah wal jamaah yang bercirikan tawassuth
wal i’tidaal, tengah-tengah dan jejeg, dengan misi
melanjutkan misi Rasulullah SAW rahmatan lil ’aalamiin,
menebar kasih sayang ke semesta alam. Pesantren yang masih
merupakan mayoritas ini masih dipimpin dan diasuh oleh
kiai-kiai -dengan sedikit pengecualian- yang yanzhuruuna
ilal ummah bi ’ainirrahmah, yang memandang umat dengan
mata kasih sayang. Bersikap lemah lembut kepada sesama
seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW.
Ajarannya juga masih tetap Addiinu annashiihah lillahi
walikitaabihi walirasuulihi waliaimmatil muslimiin
wa’aammatihim, berlaku baik terhadap Allah dengan
membenarkan keyakinan dan ikhlas beribadah kepada-Nya;
berlaku baik terhadap kitab-Nya dengan mempercayai dan
mengamalkan isinya; berlaku baik terhadap rasul-Nya dengan
mempercayai risalahnya dan mengikuti ajaran dan
perintahnya; berlaku baik terhadap para pemimpin dengan
menaati mereka dalam kebenaran dan menasihati mereka bila
nyeleweng; berlaku baik terhadap umumnya umat dengan
menunjukkan kebaikan kepada mereka dalam urusan dunia
maupun akhirat.
Namun, kalangan pesantren -termasuk organisasinya seperti
RMI dan NU- bisa mengambil hikmah dari dikait-kaitkannya
pesantren dengan terorisme ini. Minimal hal ini dapat
menyadarkan mereka bahwa ketika dunia dikuasai
’ideologi-ideologi’ ekstrem seperti sekarang, ’ideologi’
mereka yang tawassuth wal i’tidaal berasaskan kasih sayang
sangat dibutuhkan. Pada gilirannya ini mendorong mereka
untuk lebih menampilkan jati diri mereka sebagai pelopor
pemikiran dan sikap jejeg dan tengah-tengah, menebarkan
rahmatan lil’aalamiin; serta lebih aktif menjelaskan
pemahaman yang benar tentang ajaran Rasulullah SAW melalui
lisan, tulisan, maupun tindakan, tidak saja kepada pihak
luar, tapi juga kepada kalangan sendiri yang masih belum
benar-benar bisa memahami samhatal Islam, kelapangan
Islam.
Kalangan pesantren mesti mengkaji ulang dan memperbaiki
cara mereka mulang dan memberi pengajian. Karena ternyata
belakangan banyak konsep keliru yang laris manis justru
karena dikemas dan diajarkan dengan cara yang canggih.
Soal ’jihad’ misalnya. Ternyata istilah yang sudah
ma’lumun bidhdharurah di kalangan pesantren ini, kini
masih ada yang mempersoalkan atau dipersoalkan lagi akibat
adanya pemahaman baru yang bukan saja merusak maknanya,
tapi juga merusak citra Islam itu sendiri.
Bukan saja jihad diartikan hanya sebagai qitaal, perang,
tapi jihad dan qitaal itu sendiri sudah tercerabut dari
gandengannya yang tidak boleh dipisahkan: fii sabiilillah.
Qitaal -fii sabiilillah sekalipun- yang tidak mengikuti
jalan Allah, sama saja dengan teror! Sama dengan amar
makruf nahi mungkar yang seharusnya dilakukan secara
makruf, kini sudah ada yang melakukannya dengan cara yang
mungkar. Demikian juga jihad sudah ada yang melucuti
sabiilillah-nya. Berjuang di jalan Allah tanpa
mengindahkan jalan Allah. Jihad dengan Quran -sebagaimana
difirmankan Allah "Wajaahidhum bihi jihaadan kabiiran"
"Berjuanglah terhadap mereka dengannya (Quran) dengan
jihad yang besar" (Q. 25: 52)- yang menebarkan rahmat dan
kehidupan, kini kalah populer oleh ’jihad’ dengan bom yang
menebarkan laknat dan kematian.
Waba’du; akan halnya teror itu sendiri yang menjadi biang
masalah, saya pernah menulis dan mengatakan antara lain
bahwa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, teror berarti:
1. perbuatan (pemerintahan dsb) yang sewenang-wenang
(kejam, bengis, dsb); 2. usaha menciptakan ketakutan,
kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan.
Jadi apakah itu pemerintah, perorangan, atau golongan bisa
melakukan teror. Pemerintah kolonialis Belanda dan Jepang
yang melakukan teror terhadap rakyat Indonesia kemudian
ditiru pemerintah Orde Baru, terutama di awal-awal
kekuasaannya. (Anda masih ingat menjelang pemilu 1971?
Pemerintah yang didukung ABRI waktu itu melakukan teror
yang luar biasa kejam kepada rakyatnya sendiri.
Penculikan, penyiksaan, penindasan, dan hal-hal lain yang
mengerikan dilakukan aparat pemerintah. Masih ingat
lembaga atau apa yang bernama Babinsa -bersama koramil-
yang pada 70-an menjadi momok di daerah-daerah karena
kebengisannya?).
Di luar Indonesia, sampai saat ini pemerintah Amerika
masih terus meneror dunia dengan tindakan-tindakannya
terhadap ’negara-negara kecil’ seperti Afghanistan, Iraq,
Iran, Syria yang dianggapnya tidak manut kepada negara adi
daya itu. Pemerintah Israel meneror Yasser Arafat dan
rakyat Palestina. Dan, kebetulan negara-negara sasaran itu
dikenal sebagai negara-negara kaum muslimin. Dua
pemerintahan yang saling mendukung itulah antara lain yang
-dengan ketidakadilan alias kezaliman mereka- melahirkan
’teroris-teroris gelandangan’ di mana-mana. Pihak kecil
yang geregetan dan frustrasi terhadap kezaliman pihak yang
kuat sering kalap dan menjadi zalim pula.
Kezaliman melahirkan kezaliman dan kedua-duanya melahirkan
kegelapan. Khusus di republik yang tertatih-tatih oleh
timbunan utang, koruptor, dan seabrek masalah ini,
merekrut ’pejuang teror’ kiranya jauh lebih mudah daripada
menangkap teroris. Di sini orang kecil atau rakyat yang
bodoh dan melarat banyak, orang besar atau pemimpin yang
korup dan tak bertanggung jawab juga banyak. Di sini untuk
beberapa ribu rupiah, akal bisa hilang dan nyawa bisa
melayang. Bayangkan bila ada doktrin yang bisa meyakinkan
kepada orang yang sudah sedemikian sumpeknya terhadap
kehidupan dunia ini, bahwa bila dia mau mengorbankan
nyawanya, dia bukan sekadar akan mendapat beberapa ribu
rupiah, tapi akan mendapatkan kehidupan yang sesungguhnya,
kehidupan yang berbahagia tanpa rasa takut dan susah.
Sorga.
Menurut saya, teroris akan mudah -bahkan mungkin hanya
bisa- dikikis oleh sikap adil penguasa. Saya yakin Amerika
akan bisa tidur tenang bila mereka tidak memilih pemimpin
zalim semacam Bush. Dan di sini, di negeri ini, doktrin
teroris macam Noordin M. Top tidak akan laku bila
pemerintah lebih serius memikirkan kesejahteraan rakyatnya
dan para pemimpin agama serius membimbing ke arah
penguatan dan pengayaan batin mereka.
Wallahu a’lam.
Ada 3 komentar
TERORISME DAN REKAYASA AMERIKA
Oleh Imron Supriyadi
(Penulis adalah Jurnalis di Palembang)
Lennin, tokoh komunis dunia, pernah mengemukakan; musuh terbesar setelah tumbangnya komunisme adalah Islam. Kalimat ini kesannya usang, tetapi bagi kelompok anti Islam, pernyataan Lennin inilah yang kemudian tetap menjadi pijakan bagi sekutu musuh Islam, untuk terus menerus mengobarkan anti Islam. Historis kekalahan kaum Yahudi dalam perang Salib meski sudah klise dibicarakan, tetapi sejarah sakit hati itu tidak akan habis oleh pergesaran zaman dan waktu. Bahkan dengan sejarah itulah, dalam setiap generasi ke generasi sekutu musuh Islam terus menerus melakukan doktrin, bahwa Islam adalah musuh terbesar setelah komunis tumbang.
Sedemikian kuat doktrin itu, sedemikian kuat pula kelompok anti Islam akan tetap melakukan serangan terhadap Islam dalam bentuk dan dengan cara apapun. Amerika sebagai negara super power juga menjadi bagian dari mesin penggerak anti Islam di dunia, meski pada fakta lain pusat gerakan Islam internasional (Islamic Centre) juga berada di negara adidaya ini. Tetapi dibalik itu, sikap permusuhan Amerika bersama sekutunya terhadap Islam tetap saja tersimpan dalam catatan sejarah. Tentunya, sejarah ini akan selalu menjadi pijakan dalam setiap gerakan di beberapa negara (baca; umat Islam) di dunia untuk melemahkan kekuatan gerakan Islam, sebagai bagian dendam sejarah Yahudi dalam kekalahan Perang Salib.
Dalam konteks kekinian, serangan Amerika (anti Islam) terhadap kekuatan Islam, tidak dilakukan melalui pendekatan militer sebagaimana kretika Amerika melumpuhkan komunis, meski dalam sejarah Amerika juga sempat kalah oleh Soviet. Mengiringi perkembangan zaman, kecerdasan Amerika yang kemudian menyedot perhatian dunia internasional dimanfaatkan Amerika untuk melakukan serangan terhadap kekuatan Islam melalui berbagai dimensi. Di Indonesia salah satunya, Amerika menyerang Islam melalui politik, sosial dan kebudayaan.
Film, fashion, club-club malam, minuman keras, cafee remang-remang, pergaulan bebas dan sejenisnya telah menjadi senjata ampuh Amerika untuk mengobarkan anti Islam terselubung. Korbannya siapa lagi kalau bukan generasi Islam sendiri. Dengan kata lain, secara fisik Amerika tidak membombardir mortir dan mesiu di Indonesia, tetapi menyitir pernyataan almarhum WS Rendra, secara ideologis, kebudayaan, politik dan ekonomi, bangsa ini sudah 80 persen dikuasai negeri Paman Sam dan sekutunya. Contoh kecil saja, di rumah kita bisa memotong satu erkor ayam dengan membelinya di pasar seharga 30 ribu rupiah. Tetapi karena ada sikap gengsi, kita sering memilih membeli ‘ayam instan’ siap saji ala Amerika (KFC) di beberapa Mall kota besar.
Terlepas dari perspektif performant art (keindahan garapan seni), berapa banyak film produk Amerika yang secara gamblang menabur keburukan Islam di mata dunia internasional. Belum lagi siaran televisi Indoneia yang cenderung ‘meniru’ bahkan meng-impor Amerika dengan bermacam program dari A sampai Z, tanpa menimbang dampak moral yang ditimbulkan dari acara tersebut. Pakaian, pergaulan dan masih banyak lagi simbol-simbol Amerika yang ditelan mentah-mentrah oleh generasi bangsa ini, bukan remaja tetapi juga kalagan tua sudah menjadi trend dan gaya hidup.
Terhadap munculnya teroris, menurut saya juga menjadi bagian setting Amerika untuk menghancurkan Islam di mata dunia. Sudah menjadi sejarah, dalam setiap gerakan politik di belahan dunia manapun, Amerika selalu berada dibalik semuanya, baik berlatarbelakarang ekonomi, sosial, politik bahkan agama. Dalam konteks politik Indonesia, kejatuhan Bung Karno juga sangat kental keterlibatan Amerika (Keterlibatan CIA dalam Kejatuhan Soekarno ; 2009). Kemudian kejatuhan Gus Dur, juga tidak lepas dari urun rembug Amerika di belakangnya, termasuk naiknya SBY sangat mungkin Amerika juga terlibat di dalamnya, meski masih memerlukan kajian lebih detil.
Upaya Amerika menciptakan terorisme di Indonesia diduga kuat dimulai sejak pemerintah Indonesia melarang bantaun langsung dari luar negeri ke kantong-kantong Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pasca jatuhnya Orde Baru. Di masa itu, beberapa lembaga donor yang notabene-nya corong Amerika demikian gencar menggulirkan dana bantuan ke berbagai lembaga swasta. Tujuan awalnya untuk mengampayekan demokratisasi di Indonesia melalui beberapa LSM. Hampir semua gerakan untuk mendorong demokrasi Indonesia didanai melalui berbagai kegiatan.
Guliran dana ini kemudian masuk pula ke beberapa lembaga Islam, baik Islam yang beraliran moderat, abagan, santri maupun aliran tradisional. Di satu sisi, selain menggulirkan dana, dalam konteks ideologis Amerika juga menggulirkan ‘tafsir-tafsir sekuler’ terhadap pemahaman agama Islam, melalui beberapa tokoh Islam yang sebelumnya sudah didanai secara gratis (beasiswa) untuk menempuh studi di Amerika. Sepulang di Indonesia, beberapa tokoh kemudian menebar sekulerisasi, baik melalui seminar maupun dalam institusi pendidikan. Intinya, Amerika menginginkan adanya benturan antara Islam tradisional dan Islam moderat dengan menggulirkan isu-siu baru. Ketika pertentangan dua kubu Islam terjadi, Amerika kemudian menciptakan isu baru, baik yang berhubungan langsung dengan konflik Islam itu sendiri atau dengan isu lain yang sama sekali tidak berhubungan dengan agama.
Dalam hal terosrisme, ketika kemudian di era Megawati didesakkan menjadi Undang-Undang, semua juga tidak lepas dari intervensi Amerika. Bahkan penahanan Abu Bakar Ba’asyir juga bagian dari setting Amerika. Targetnya, Pengasuh Pondok Pesantren Ngruki ini harus ditahan sebagai bagian pelaku teror, meski dengan alasan yang tidak cerdas, yaitu bepergian ke Malaysia tanpa paspor. Munculnya Ba’asyir sebagai narapidana politik, sedikit banyak telah menciderai umat Islam, khususunya kalangan pesantren. Tujuan Amerika bukan ingin menghancurkan pesantren secara sporadis melalui gerakan militer, tetapi menciptakan publik opini di masyarakat, pesantren adalah sarang teroris. Terget ini berhasil, ketika kemudian Indonesia dengan segenap aparatnya melakukan inspeksi ke setiap pesantren. Apa yang timbul kemudian? Masyarakat tidak ingin memasukkan putra-putrinya ke pesantren, karena dalam faktanya beberapa pelaku teroris mayoritas almunus pesantren. Sikap sebagian masyarakat yang anti persantren inilah yang sebenarnya menjadi target Amerika, dalam upaya menggerogoti kader-kader militan Islam. Ada upaya de-moralisasi agama di dalamnya.
Dalam catatan lain, Amerika sedemikian kental dikenal sebagai negara yang selalu berdiri diantara dua kaki (standar ganda). Di satu sisi mengampayekan HAM dan demokrasi, tetapi di sisi lain Amerika juga yang melanggar HAM dan demokrasi dengan beberapa gerakan militernya di beberapa negara Islam tanpa kompromi. Dengan fakta ini, bukan tidak mungkin gerakan teroris ini juga bagian dari setting (strategi) Amerika untuk menghancurkan Islam. Pertanyaannya adalah, kalau ini setting Amerika tetapi mengapa banyak orang Amerika juga yang menjadi korban bom dari teroris? Sekali lagi, dari awal saya sebutkan, Amerika adalah negara yang berstandar ganda, oleh sebab itu Amerika tidak segan-segan juga mengorbankan warganya sendiri dengan mengambingtamkan orang lain (kalangan Islam), selagi target dan tujuannya tercapai.
Dengan analisa ini, boleh saja orang beranggapan ini adalah tuduhan yang tidak berdasar. Tetapi sangat mungkin, tokoh teroris yang kini menjadi otak pengeboman di berbagai negara bukan semata-mata jihad, tetapi ada target material, yang sama sekali tidak diketahui oleh para ‘pengantin’ yang siap mengenakan bom bunuh diri atas dasar membela Islam. Menyitir kalimat seorang tokoh politik, ada lelucon, Noordin M Top memang bukan untuk ditangkap tetapi untuk dicari, supaya paket senjata ke pelaku teroris tetap berjalan, sekaligus dapat menggerakkan roda perekonomian Amerika melalui pengiriman peralatan militer ke kelompok teroris di beberapa negara. (*)
Palembang, 15 Agustus 2009
Balas Komentar IniOo..begitukah? jadi kambing hitamnya Amerika? Tertuduh-nya Amerika? Kok terasa sekali kbencian Anda thd Amerika.. :-). Tp silakan saja jika Anda memang berani bersaksi di hadapan Allah bhw tuduhan Anda thd Amerika itu benar.
Balas Komentar IniSy kok lebih menyukai sikap yg mendahulukan introspeksi drpd mencari kesalahan pihak luar. Ingat bhw "tanpa setan pun manusia mampu berbuat jahat."
Info2 yg beredar luas itu sbagian besar mrp opini subjektif, bukan/belum fakta. Kita perlu mewaspadainya shg tdk ikut2an menguatkan tuduhan keji, apalagi jk kita tdk pnya kapasitas utk membuktikannya sendiri. Salam.
Salam,
Terima kasih atas tanggapan thdp tulisan saya. Tetapi jika kemudian anda meminta saya bersaksi di hadapan Allah ttg keterlibatan Amerika, kok kesannya saya dihakimi. Ok, saya setuju kalau kita harus introspeksi diri. Saya menilai adanya keterlibatan Amerika di dalam teroris itu dalam perspektif politis. Tetapi kalau saya harus bersaksi kepada Allah, saya harus melihatnya dari perspektif spiritual. Soal saya harus bersaksi itu kan tidak bisa diwujudkan dalam fisik. Saya hanya melihat, dalam kasus teroris itu Amerika sangat punya kepentingan untuk mengaduk2 Islam di Indonesia, karena kebangkitan Islam di Indonesia bagian dari ketakutan Amerika. Intinya, Akerika tidak ingin melihat Indinesia ini maju, sebab jika bangsa ini berkembang, Amerika menjadi ketakutan terhadap potensi dan kekuatan Indonesia. Tks
Salam
Balas Komentar IniImron S