Mohon Maaf Lahir dan Bathin
Ucapan seperti itu deras mengalir melalui jalur maya jaringan seluler Indonesia, terutama menjelang Ramadhan dan terlebih lagi di hari Idul Fitri dan sekitarnya.
Ada bagusnya tradisi ini dibudayakan (atau budaya ini ditradisikan?), meramaikan kemeriahan hari besar umat Islam sedunia, yang -idealnya- mencapai kemenangan melawan hawa nafsu sebulan penuh. Kembali suci dari dosa terhadap Alloh (dengan ibadah dan pendekatan diri selama Romadhon) dan suci dari dosa terhadap sesama manusia (dengan saling memaafkan kesalahan).
Pengiriman ucapan berupa SMS dapat menjalin ukhuwah dengan rekan dekat, atau menyapa rekan jauh yang bahkan mungkin kita sudah lupa kalo namanya masih ada dalam entri address book hape kita. Sangat positif tentu saja.
Namun ada 2 hal yang kadang salah kaprah dalam proses permintaan maaf tersebut:
1. Menganggap meminta maaf sebelum masuk bulan Romadhon itu adalah WAJIB, dan yang kedua,
2. Menganggap ucapan maaf dalam kalimat itu sudah mewakili permintaan maaf yang sesungguhnya.
Ada bagusnya tradisi ini dibudayakan (atau budaya ini ditradisikan?), meramaikan kemeriahan hari besar umat Islam sedunia, yang -idealnya- mencapai kemenangan melawan hawa nafsu sebulan penuh. Kembali suci dari dosa terhadap Alloh (dengan ibadah dan pendekatan diri selama Romadhon) dan suci dari dosa terhadap sesama manusia (dengan saling memaafkan kesalahan).
Pengiriman ucapan berupa SMS dapat menjalin ukhuwah dengan rekan dekat, atau menyapa rekan jauh yang bahkan mungkin kita sudah lupa kalo namanya masih ada dalam entri address book hape kita. Sangat positif tentu saja.
Namun ada 2 hal yang kadang salah kaprah dalam proses permintaan maaf tersebut:
1. Menganggap meminta maaf sebelum masuk bulan Romadhon itu adalah WAJIB, dan yang kedua,
2. Menganggap ucapan maaf dalam kalimat itu sudah mewakili permintaan maaf yang sesungguhnya.
Untuk yang pertama, silakan baca postingan bagus tentang ini, Meminta maaf sebelum Ramadhan.
Sedangkan untuk poin kedua, menurutku maaf di situ belum menyentuh esensi maaf-memaafkan yang sesungguhnya, bahkan kasarannya hanya basa-basi dan formalitas saja.
Maaf-memaafkan mestinya melalui tahap 'transaksi', yakni yang meminta maaf harus tau apa kesalahannya, dan yang memaafkan harus tau apa yang hendak dimaafkan. Di luar itu, hanya kalimat tanpa isi.
Misalnya si A pernah mematikan kran bensin motor Tiger milik si B, yang mengakibatkan motor si B mogok di tengah jalan dan B uring-uringan. Si B tidak tau siapa yang berulah, maka meski si A mengirim SMS 'maaf' ke si B berulang kali di Idul Fitri, jika belum mengena ke kasusnya, kesalahan si A belum termaafkan meskipun (dalam SMS juga) si B menjawab 'sama-sama'.
Kenapa?
Karena jika si B tau bahwa yang mematikan kran bensinnya adalah si A, belum tentu si B mau memaafkan. Atau paling tidak, si B masih perlu memutuskan apakah dia memaafkan atau tidak, dan dalam Islam ini adalah hak si B. Alloh membolehkan si B tidak memaafkan si A, dan selamanya kesalahan A tidak termaafkan sampai si B memaafkannya.
Lalu bagaimana untuk kesalahan yang kedua belah pihak sama-sama lupa?
Ini adalah resiko buat orang yang suka mengulur permintaan maaf, atau mereka yang memilah mana kesalahan kecil dan kesalahan besar, sehingga mengabaikan kesalahan yang dianggap kecil. Padahal besar kecilnya kesalahan itu bedanya dari persepsi saja.
Ingat kisah Ayahanda Imam Syafi’I, yang gara-gara memakan buah yang jatuh di sungai dari sebuah kebun? Lalu beliau mencari pemilik kebun dan rela dihukum kerja tanpa upah selama beberapa lama untuk menebus kesalahannya. Idealnya adalah seperti itu, mencari keihlasan orang yang telah disalahi untuk dimaafkan.
Lalu gimana caranya kita tau kesalahan kita?
Introspeksi dan meminta maaf dan keikhlasan masih terbuka sampai batas nafas terakhir.
Gimana kalo kesalahan yang gak sengaja?
Tidak ada kesalahan yang tidak sengaja. Yang ada adalah kelalaian, dan itu patut diperbaiki dan meminta maaf segera saat mengetahui kesalahannya, tidak usah menunggu moment setahun sekali.
Kemudian, apa masalahnya dengan mengirimkan permintaan maaf di Idul Fitri?
Ok, memang tidak ada salahnya mengirim SMS templated berisi permohonan maaf lahir dan bathin (entah yang lahir itu gimana dan yang bathin itu yang mana), silakan saja dilakukan.
Tapi dengan tindakan seperti itu hendaknya tidak menutup kemungkinan meminta maaf secara 'nyata', apabila tau ada kesalahan yang telah diperbuat terhadap orang lain.
Lebih lanjut, kalau merasa tidak ada kesalahan, mengapa mengumbar kata maaf yang tiada arti?
Buat jaga-jaga saja kalo ternyata ada kesalahan?
Kembali ke esensi maaf-memaafkan di atas, tidak ada artinya karena untuk meminta maaf harus dengan kesadaran. Apalagi dengan SMS templated dikirim ke puluhan (atau ratusan?) orang, yang kesannya hanya meminta maaf sambil berlalu.
Kalau sekedar memeriahkan dan saling sapa, bukankah tanpa menyisipkan kata ‘maaf lahir bathin’ juga tidak masalah?
Sedangkan untuk poin kedua, menurutku maaf di situ belum menyentuh esensi maaf-memaafkan yang sesungguhnya, bahkan kasarannya hanya basa-basi dan formalitas saja.
Maaf-memaafkan mestinya melalui tahap 'transaksi', yakni yang meminta maaf harus tau apa kesalahannya, dan yang memaafkan harus tau apa yang hendak dimaafkan. Di luar itu, hanya kalimat tanpa isi.
Misalnya si A pernah mematikan kran bensin motor Tiger milik si B, yang mengakibatkan motor si B mogok di tengah jalan dan B uring-uringan. Si B tidak tau siapa yang berulah, maka meski si A mengirim SMS 'maaf' ke si B berulang kali di Idul Fitri, jika belum mengena ke kasusnya, kesalahan si A belum termaafkan meskipun (dalam SMS juga) si B menjawab 'sama-sama'.
Kenapa?
Karena jika si B tau bahwa yang mematikan kran bensinnya adalah si A, belum tentu si B mau memaafkan. Atau paling tidak, si B masih perlu memutuskan apakah dia memaafkan atau tidak, dan dalam Islam ini adalah hak si B. Alloh membolehkan si B tidak memaafkan si A, dan selamanya kesalahan A tidak termaafkan sampai si B memaafkannya.
Lalu bagaimana untuk kesalahan yang kedua belah pihak sama-sama lupa?
Ini adalah resiko buat orang yang suka mengulur permintaan maaf, atau mereka yang memilah mana kesalahan kecil dan kesalahan besar, sehingga mengabaikan kesalahan yang dianggap kecil. Padahal besar kecilnya kesalahan itu bedanya dari persepsi saja.
Ingat kisah Ayahanda Imam Syafi’I, yang gara-gara memakan buah yang jatuh di sungai dari sebuah kebun? Lalu beliau mencari pemilik kebun dan rela dihukum kerja tanpa upah selama beberapa lama untuk menebus kesalahannya. Idealnya adalah seperti itu, mencari keihlasan orang yang telah disalahi untuk dimaafkan.
Lalu gimana caranya kita tau kesalahan kita?
Introspeksi dan meminta maaf dan keikhlasan masih terbuka sampai batas nafas terakhir.
Gimana kalo kesalahan yang gak sengaja?
Tidak ada kesalahan yang tidak sengaja. Yang ada adalah kelalaian, dan itu patut diperbaiki dan meminta maaf segera saat mengetahui kesalahannya, tidak usah menunggu moment setahun sekali.
Kemudian, apa masalahnya dengan mengirimkan permintaan maaf di Idul Fitri?
Ok, memang tidak ada salahnya mengirim SMS templated berisi permohonan maaf lahir dan bathin (entah yang lahir itu gimana dan yang bathin itu yang mana), silakan saja dilakukan.
Tapi dengan tindakan seperti itu hendaknya tidak menutup kemungkinan meminta maaf secara 'nyata', apabila tau ada kesalahan yang telah diperbuat terhadap orang lain.
Lebih lanjut, kalau merasa tidak ada kesalahan, mengapa mengumbar kata maaf yang tiada arti?
Buat jaga-jaga saja kalo ternyata ada kesalahan?
Kembali ke esensi maaf-memaafkan di atas, tidak ada artinya karena untuk meminta maaf harus dengan kesadaran. Apalagi dengan SMS templated dikirim ke puluhan (atau ratusan?) orang, yang kesannya hanya meminta maaf sambil berlalu.
Kalau sekedar memeriahkan dan saling sapa, bukankah tanpa menyisipkan kata ‘maaf lahir bathin’ juga tidak masalah?
"Taqobbalallahu minna wa minkum, selamat hari raya Idul Fitri 1428 H. Semoga kita termasuk hamba yang kembali fitrah. Aamiin.
-Aryo Sanjaya-"
Ada 8 komentar
mohon maap, saya bajak duluan..
Balas Komentar IniPERTAMAXX !!!
itulah sebabnya saya menghemat pulsa dengan tidak melakukan broadcast templated sms. tunggu ada yang kirim ke saya dulu, baru saya balas secara personal. atau sekalian saya yang minta maap duluan secara personal.
setuju, kang. minta maap pakai tempated sms kesannya hanya sambil lalu, esensi minta maapnya jadi ga dapet. lebih lagi kalau sms template yang diterima juga dibalas dengan sms template.
tidak ada kegiatan maap-memaapkan yang lebih mantap selain dengan berjabat tangan dan saling mengikhlaskan kesalahan masing2.
*jabat tangan kang parjo*
btw, saya ga ikut2 masalah keran bensin...
Balas Komentar Inimasalah memaafkan sebelum lebaran atau ramadhan, pernah dibahas juga kok di side A, hehehe.. :p
tapi orang indonesia emang repot, budaya diagamakan. sementara agama diabaikan :))
Balas Komentar Inimohon maaf lahir dan bathin ya Jo. sorry ga sending met lebaran dg templated sms, tapi baru bales sms lebaran sekalian bales sms ilmu pedagnya-nya jeng Ayu :d...sayang ga jd ke rumahnya jeng ayu, karena jamnya pas ma jam temenku lamaran :(.
btw, thx infonya and have a good trip
Balas Komentar IniMOHON MA'AF LAHIR DAN BATIN!!!!
Aryo:
Balas Komentar Iniisek sempat ngejunk ndek kaki gunung kelud yo?
Meminta maaf tidak mengenal waktu dan tempat
Manusia cenderung lupa akan kesalahannya sendiri dan selalu ingat akan kesalahan orang lain. Saatnya kita merubah kebiasaan tersebut, lupakan[maafkan] kesalahan orang lain, ingat selalu akan kesalahan kita sendiri kepada orang lain dan segeralah minta maaf
Mohon maaf lahir batih
Balas Komentar Inikita suda salaman kan?
angpaonya mana?
Aryo:
Balas Komentar Iningasih angpao itu buat yang sudah nikah. makanya nikah dulu sana.
web-nya bagus banget? ;) ;) ;)
Balas Komentar Ini