Pelukan Surga
Gadis itu merapikan jilbabnya yang tersingkap, yang berkibar tertiup angin dari arah haluan kapal. Berdiri bersandar di pagar besi pinggiran dek, sambil menyaksikan kapal Rinjani yang ditumpanginya perlahan merapat pada pelabuhan Tanjung Perak Surabaya.
Sudah menjadi kebiasaan tak tertulis bagi sebagian besar penumpang, untuk berdiri berderet di pinggir dek sebelum kapal bersandar di pelabuhan. Tak terkecuali buat si gadis, yang meski sudah kesekian kalinya menumpang besi raksasa terapung itu, tetap saja dia menikmati saat-saat kapal berlabuh. Serasa ada momen penyatuan dirinya dengan tanah Jawa, tempatnya dilahirkan, setelah berpisah lama di pulau orang, hampir satu tahun.
Sambil memeluk ransel kecil dia menempelkan tubuh mungilnya pada pagar, supaya tidak terserempet orang-orang yang berseliweran di belakangnya. Perlombaan turun dari kapal selalu menjadi hal yang dihindarinya, terutama karena tubuhnya yang mudah terhimpit di antara tubuh-tubuh lain yang lebih besar. Menunggu jalur turun menjadi sepi, sambil melamun, tentu lebih nyaman bagi dirinya.
Apalagi saat ini kebahagiaan sedang menelusup di dalam hatinya. Dalam lamunan, dia bisa meresapi setiap sisi kebahagiaan itu, bersyukur atas kemudahan yang telah diberikanNya.
Pekerjaan baru yang dia dapatkan enam bulan yang lalu, telah menaikkan saldo tabungannya dengan nyata. Jika di pekerjaan sebelumnya, di kota yang sama, saldonya selalu kembali ke posisi semula di akhir bulan, namun di pekerjaan sekarang ini dia mendapatkan jauh lebih banyak pemasukan, di perkerjaan yang lebih layak baginya. Doa di setiap ibadahnya selama ini akhirnya terjawab.
Sudah menjadi kebiasaan tak tertulis bagi sebagian besar penumpang, untuk berdiri berderet di pinggir dek sebelum kapal bersandar di pelabuhan. Tak terkecuali buat si gadis, yang meski sudah kesekian kalinya menumpang besi raksasa terapung itu, tetap saja dia menikmati saat-saat kapal berlabuh. Serasa ada momen penyatuan dirinya dengan tanah Jawa, tempatnya dilahirkan, setelah berpisah lama di pulau orang, hampir satu tahun.
Sambil memeluk ransel kecil dia menempelkan tubuh mungilnya pada pagar, supaya tidak terserempet orang-orang yang berseliweran di belakangnya. Perlombaan turun dari kapal selalu menjadi hal yang dihindarinya, terutama karena tubuhnya yang mudah terhimpit di antara tubuh-tubuh lain yang lebih besar. Menunggu jalur turun menjadi sepi, sambil melamun, tentu lebih nyaman bagi dirinya.
Apalagi saat ini kebahagiaan sedang menelusup di dalam hatinya. Dalam lamunan, dia bisa meresapi setiap sisi kebahagiaan itu, bersyukur atas kemudahan yang telah diberikanNya.
Pekerjaan baru yang dia dapatkan enam bulan yang lalu, telah menaikkan saldo tabungannya dengan nyata. Jika di pekerjaan sebelumnya, di kota yang sama, saldonya selalu kembali ke posisi semula di akhir bulan, namun di pekerjaan sekarang ini dia mendapatkan jauh lebih banyak pemasukan, di perkerjaan yang lebih layak baginya. Doa di setiap ibadahnya selama ini akhirnya terjawab.
Dia harus berterimakasih pada teman barunya yang dikenalnya di warnet
itu, yang turut andil memasukkan dia ke kantornya sekarang ini. Jika
sebelumnya dia bekerja sebagai tukang catat barang di gudang sebuah
toko mainan, kini bekerja sebagai editor berita di sebuah LSM. Tempat
kerjanya kini lebih nyaman dan ber-AC. Jenis pekerjaan yang lebih
teratur, meja kursi sendiri, dan meski beban kerjanya ringan, namun
karena karyawan di kantor itu masih asing dengan yang namanya
internet, posisinya seakan-akan penting. Beruntunglah dia pernah
belajar banyak sewaktu di laboratorium komputer di kampusnya dulu,
tempat dia menyandang gelar sarjana komputer.
Dilihatnya tangga turun kapal sudah mulai sepi, hanya sesekali saja orang melintasi tangga itu. Sebelum tangganya digunakan untuk jalur orang naik ke kapal, bergegas dia menuju tangga turun di dek yang sama. Sambil berjalan menuruni tangga, dia memasukkan handphone SonyEricsson T610 ke dalam saku jaketnya. HP yang sedari tadi digenggamnya, untuk mengabari teman-teman kampungnya bahwa dia sudah sampai Surabaya, 2 jam lagi sampai Probolinggo.
Kebanggaan baginya mampu membeli HP berwarna itu, dibandingkan sewaktu dia berangkat setahun yang lalu, yang masih berkutat dengan HP monokrom bututnya. Meski saat itu gajinya cukup untuk membeli HP yang lebih mahal, tapi selalu habis di akhir bulan untuk dikirimkan ke rekening tabungan adiknya, untuk digunakan bersama ibunya, yang sejak bapaknya meninggal 3 tahun lalu, ibunya mengalami gangguan kesehatan. Gejala stroke, begitu kata dokter. Selain tidak boleh terlalu capek, kondisi kejiwaan ibunya harus terjaga tetap stabil. Padahal ibunya harus menghidupi dia dengan dua adiknya.
Demi membantu ibunya itulah, dia menerima tawaran temannya yang tinggal di Ujung Pandang. Hanya berbekal nekat, dia akhirnya diterima di sebuah toko mainan anak-anak yang cukup besar di sana. Meski tidak sesuai dengan kuliahnya, tapi lebih baik ada penghasilan daripada menganggur sama sekali. Dia mampu menopang ekonomi keluarganya, meskipun masih saja tersendat. Sebagai anak sulung, bahkan kini dia sudah menjadi penyangga ekonomi keluarga.
Teriakan para makelar taksi, ojek dan travel yang berjejer di pintu keluar, menyadarkannya dari lamunan. Sambil mendekap tas dan merapatkan jaketnya, takut kecopetan, dia menerobos kerumunan para makelar. Dia akan naik biskota ke terminal Bungurasih, jadi tidak memerlukan tawaran-tawaran itu.
Setelah sukses keluar dari kerumunan, sekali lagi dia memeriksa dompet dan HP-nya di saku kanan jaketnya, masih ada. Begitu juga di saku kiri, tempat dia menyimpan HP buat adik lelakinya, yang sudah sejak lama mengidamkan sebuah HP. Kelas 3 SMA tanpa HP adalah hal aneh untuk anak zaman sekarang.
Di samping itu, agar dia dapat berkirim kabar dengan cepat pada keluarganya, tanpa harus melalui HP tetangganya.
Selain HP untuk adiknya, di dalam tasnya tersimpan kalkulator ilmiah untuk adik ceweknya yang masih sekolah dasar, serta frame kacamata baru untuk ibunya. Dan tentu saja satu amplop tebal berisi lembaran uang pink, hasil dari penghematan besar-besaran yang dia lakukan.
Setelah semua dirasa lengkap, dengan mata berbinar dan semangat kebahagiaan, dia berjalan cepat menyusuri keramaian orang untuk menuju terminal Ujung, tempat mangkalnya biskota yang jaraknya tidak lebih 200 meter dari pelabuhan.
Sesampainya di terminal, tidak nampak satupun bis di situ, hanya para pekerja yang sedang kepanasan sibuk bekerja membangun terminal. Rupanya terminal sedang direnovasi. Seandainya dia tidak buru-buru, mungkin dia melihat papan pengumuman besar di depan pelabuhan tadi.
Seakan mengerti kebingungannya, seorang penjual minuman di dekatnya menyapa, “mau naik DAMRI ya mbak?â€
Gadis itu menoleh, dan mengangguk, “iya pakâ€
“Terminal lagi diperbaiki mbak, bisnya mangkal di dekat alun-alun Prapat Kurung situ. Kesananya naik becak saja mbak, jauhâ€
Belum lagi dia menjawab, sebuah sepeda motor berhenti di dekatnya, “ayo mbak tak antarkan, dekat situ, lima ribu saja wesâ€, tukang ojek dengan logat Madura.
Dia tidak tahu di mana Prapat Kurung itu, tapi dia ingin segera sampai di terminal, dan uang lima ribu rupiah tidak begitu masalah baginya, saat ini.
“ya wes masâ€, jawabnya, mengangguk ke penjual minuman, lalu naik di belakang tukang ojek.
Segera Astrea Grand itu bergerak cepat di jalan lurus yang lebar dengan aspal mulus, saat itu terkesan sepi, dengan tembok putih yang tinggi di sisi kiri jalan, membatasi jalanan dengan pelabuhan angkutan barang.
Jarak ke Prapat Kurung hanya sekitar 500 meter dari terminal Ujung.
Namun baru sampai di 300 meter, laju sepeda motor berhenti dengan benturan. Sebuah truk tronton hijau yang keluar dari pelabuhan barang, menghadang mendadak dengan moncongnya dari sisi kiri. Tukang ojek terlempar hingga beberapa meter ke depan, sedangkan sepeda motor dan penumpangnya masih tersangkut di bawah truk, yang juga terseret beberapa meter sebelum truk berhasil berhenti dengan sempurna.
Tukang ojek tertatih bangun, sedangkan penumpangnya bersimbah darah tak bergerak.
(Aryo Sanjaya, Durensawit, Jaktim, 16 Desember 2007)
Dilihatnya tangga turun kapal sudah mulai sepi, hanya sesekali saja orang melintasi tangga itu. Sebelum tangganya digunakan untuk jalur orang naik ke kapal, bergegas dia menuju tangga turun di dek yang sama. Sambil berjalan menuruni tangga, dia memasukkan handphone SonyEricsson T610 ke dalam saku jaketnya. HP yang sedari tadi digenggamnya, untuk mengabari teman-teman kampungnya bahwa dia sudah sampai Surabaya, 2 jam lagi sampai Probolinggo.
Kebanggaan baginya mampu membeli HP berwarna itu, dibandingkan sewaktu dia berangkat setahun yang lalu, yang masih berkutat dengan HP monokrom bututnya. Meski saat itu gajinya cukup untuk membeli HP yang lebih mahal, tapi selalu habis di akhir bulan untuk dikirimkan ke rekening tabungan adiknya, untuk digunakan bersama ibunya, yang sejak bapaknya meninggal 3 tahun lalu, ibunya mengalami gangguan kesehatan. Gejala stroke, begitu kata dokter. Selain tidak boleh terlalu capek, kondisi kejiwaan ibunya harus terjaga tetap stabil. Padahal ibunya harus menghidupi dia dengan dua adiknya.
Demi membantu ibunya itulah, dia menerima tawaran temannya yang tinggal di Ujung Pandang. Hanya berbekal nekat, dia akhirnya diterima di sebuah toko mainan anak-anak yang cukup besar di sana. Meski tidak sesuai dengan kuliahnya, tapi lebih baik ada penghasilan daripada menganggur sama sekali. Dia mampu menopang ekonomi keluarganya, meskipun masih saja tersendat. Sebagai anak sulung, bahkan kini dia sudah menjadi penyangga ekonomi keluarga.
Teriakan para makelar taksi, ojek dan travel yang berjejer di pintu keluar, menyadarkannya dari lamunan. Sambil mendekap tas dan merapatkan jaketnya, takut kecopetan, dia menerobos kerumunan para makelar. Dia akan naik biskota ke terminal Bungurasih, jadi tidak memerlukan tawaran-tawaran itu.
Setelah sukses keluar dari kerumunan, sekali lagi dia memeriksa dompet dan HP-nya di saku kanan jaketnya, masih ada. Begitu juga di saku kiri, tempat dia menyimpan HP buat adik lelakinya, yang sudah sejak lama mengidamkan sebuah HP. Kelas 3 SMA tanpa HP adalah hal aneh untuk anak zaman sekarang.
Di samping itu, agar dia dapat berkirim kabar dengan cepat pada keluarganya, tanpa harus melalui HP tetangganya.
Selain HP untuk adiknya, di dalam tasnya tersimpan kalkulator ilmiah untuk adik ceweknya yang masih sekolah dasar, serta frame kacamata baru untuk ibunya. Dan tentu saja satu amplop tebal berisi lembaran uang pink, hasil dari penghematan besar-besaran yang dia lakukan.
Setelah semua dirasa lengkap, dengan mata berbinar dan semangat kebahagiaan, dia berjalan cepat menyusuri keramaian orang untuk menuju terminal Ujung, tempat mangkalnya biskota yang jaraknya tidak lebih 200 meter dari pelabuhan.
Sesampainya di terminal, tidak nampak satupun bis di situ, hanya para pekerja yang sedang kepanasan sibuk bekerja membangun terminal. Rupanya terminal sedang direnovasi. Seandainya dia tidak buru-buru, mungkin dia melihat papan pengumuman besar di depan pelabuhan tadi.
Seakan mengerti kebingungannya, seorang penjual minuman di dekatnya menyapa, “mau naik DAMRI ya mbak?â€
Gadis itu menoleh, dan mengangguk, “iya pakâ€
“Terminal lagi diperbaiki mbak, bisnya mangkal di dekat alun-alun Prapat Kurung situ. Kesananya naik becak saja mbak, jauhâ€
Belum lagi dia menjawab, sebuah sepeda motor berhenti di dekatnya, “ayo mbak tak antarkan, dekat situ, lima ribu saja wesâ€, tukang ojek dengan logat Madura.
Dia tidak tahu di mana Prapat Kurung itu, tapi dia ingin segera sampai di terminal, dan uang lima ribu rupiah tidak begitu masalah baginya, saat ini.
“ya wes masâ€, jawabnya, mengangguk ke penjual minuman, lalu naik di belakang tukang ojek.
Segera Astrea Grand itu bergerak cepat di jalan lurus yang lebar dengan aspal mulus, saat itu terkesan sepi, dengan tembok putih yang tinggi di sisi kiri jalan, membatasi jalanan dengan pelabuhan angkutan barang.
Jarak ke Prapat Kurung hanya sekitar 500 meter dari terminal Ujung.
Namun baru sampai di 300 meter, laju sepeda motor berhenti dengan benturan. Sebuah truk tronton hijau yang keluar dari pelabuhan barang, menghadang mendadak dengan moncongnya dari sisi kiri. Tukang ojek terlempar hingga beberapa meter ke depan, sedangkan sepeda motor dan penumpangnya masih tersangkut di bawah truk, yang juga terseret beberapa meter sebelum truk berhasil berhenti dengan sempurna.
Tukang ojek tertatih bangun, sedangkan penumpangnya bersimbah darah tak bergerak.
(Aryo Sanjaya, Durensawit, Jaktim, 16 Desember 2007)
Ada 15 komentar
Sebuah perjuangan diujung batas. Jo...., Mau banting setir jadi penulis novel ya :D
Aryo: lha yo ndak to, cuman mengorek kembali hobi yang tersimpan di dasar karung.
Balas Komentar Initragis...
kenapa kejadiannya gak di bungurasih aja. biar tambah panjang ceritanya...
gadis itu duduk di samping seorang bule. dia heran kenapa bule ini mau berdesakan naik bis kota. aneh kelihatannya. tiba-tiba si bule mengeluarkan sebuah pistol. ditempelkan pistol itu ke arah kening si gadis, dia dijadikan sandera. ruanya si bule mencoba membajak bis damri itu. ...
Aryo:
Balas Komentar Inilho, kan ada 'pelukan surga' versi 2, silakan dibikin, xexexe...
kurang tragis, kurang ironis.
coba saat2 terakhir itu, dia memilih berjalan kaki ke 'Prapat Kurung' sambil memberi kabar ke ibunya (lewat hape tetangga) bahwa dia sudah sampai di surabaya, dan dalam perjalanan pulang ke rumah.
dengan penuh kegembiraan dalam haru, menceritakan apa saja yang dia bawa untuk keluarganya di rumah, ketika tiba2 saat dia menyeberang sebuah kendaraan (apapun itu) melaju kencang dan tidak menyadari keberadaanya.
di seberang sana, sang ibu hanya bisa memanggil2 namanya, tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.
hanya dijawab oleh mbak tut-tut
:p
Aryo: emangnya ini cerpen horor? *tendang-tendang gum* hanya sebagai wacana saja, sekarang ini banyak orang baik, yang bener-bener baik, cepat sekali diambil olehNya. entah, mungkin mereka sedang diselamatkan dari kerusakan dunia? Wallahu'alam.
Balas Komentar Inikomen terakir sebelum cabut...
jadi orang jelek ahhh :)
Aryo:
Balas Komentar Iniono semacam kutukan, dadi wong jahat iku angel matine, biasane ngenteni film-e entek, hihihi
loh..brarti gak jadi pulang om..?? :-??
Aryo:
Balas Komentar Inipulang, namanya doang
*merasa terancam jadi tiyangsae*
Aryo:
Balas Komentar Iniitu dibaca dengan teliti dong, di situ jelas-jelas aku tulis 'yang bener-bener baik', bukan yang maniak kopi. *errr... ga nyambung kayaknya*
heheheh mampir nihh mba or pa blog walking nice blog
Balas Komentar IniSwear ra dong maksude aku boss
Aryo:
Balas Komentar Iniseperti biasanya kan? hihihi. *usap-usap Jauhari*
Duh sedihnya... *ambil tissue*
Base on true story mas?
Aryo:
Balas Komentar IniBukan true story, ngarang aja.
Tapi dari timbal balik cerpen itu, katanya ada teman SMP-nya yang kejadiane mirip banget seperti itu, dapet kerja, pulang, kecelakaan, meninggal.
Who knows.
Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.. semoga segala amal baik mbak berkerudung ini diterima ma Alloh. Mengingatkan bahwa ajal bisa menjemput dimana aja dan kapan aja.*masih takut*
[-( [-( [-( [-(
Aryo:
Balas Komentar IniPersiapan yang kurang hanya menimbulkan penyesalan *takut juga*
ini novel apa kisah nyata...???
lumayan buat aku sedihh...*halah cemen*
Aryo:
*sodorin tisunya Irene*
Balas Komentar Ini
? kok kayak kisahku ya.. bedanya aku ga naek kapal laut buat pulang tapi naek motor sendirian, usai gajian pulang bawa duit buat ortu..eh motornya terbang masuk got (hihihi, maklum deh udah seminggu ga tidur :D), bedanya lagi aku ga nyangkut di kolong truk (walau pernah juga seh :D) tapi masuk got dan ga mati.. yang sama ya cuma sama2 mo pulang aja.
lho kok aku jadi curhat ya :O
permisi..anak bau kencur numpang lewat :)
Balas Komentar IniCerita dah oke. Yang kurang nih, tata penulisan abjad dan tanda baca. Masi amburadul. Hihihi...
Aryo:
Balas Komentar Inikalo penulisan abjadnya salah, berarti font pc Dian yang salah, hihihi.
Thanks for your support *plak*
*plak!*
Ayoh kapan tanding bikin cerpen lagih?
Aryo: *bugh!* ini aku sudah satu, mana punyamu lagi? yang dulu wes impas.
Balas Komentar Inibersimbah darah tak bergerak..
semoga cuma pingsan ajah
*halah, opo to yo yo
Aryo:
Balas Komentar Inihiehehe, gitu deh